TOKOH-TOKOH BPUPKI (DOKURITSU JUNBII CHOSAKAI)

10/12/2015
Tokoh-tokoh BPUPKI (Dokuritsu Junbii Chosakai)




Selamat pagi sobat blogger kali ini penulis ingin berbagi tentang tokoh-tokoh besar Bangsa Indonesia yang berjuang dalam mempersiapkan kemerdekaan Indonesia pada masa pemerintahan pendudukan Bala tentara Jepang pada perang dunia kedua.

Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dalam bahasa Jepang disebut Dokuritsu Junbii Chōsakai adalah sebuah badan yang dibentuk oleh pemerintah pendudukan balatentara Jepang pada tanggal 1 Maret 1945 bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Hirohito.

Badan ini dibentuk sebagai upaya mendapatkan dukungan dari bangsa Indonesia dengan menjanjikan bahwa Jepang akan membantu proses kemerdekaan Indonesia. BPUPKI beranggotakan 62 orang yang diketuai oleh Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman Wedyodiningrat dengan wakil ketua Ichibangase Yosio (orang Jepang) dan Raden Pandji Soeroso.

Di luar anggota BPUPKI, dibentuk sebuah Badan Tata Usaha (semacam sekretariat) yang beranggotakan 60 orang. Badan Tata Usaha ini dipimpin oleh Raden Pandji Soeroso dengan wakil Mr. Abdoel Gafar Pringgodigdo dan Masuda Toyohiko (seorang Jepang).

Tugas dari BPUPKI sendiri adalah mempelajari dan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan aspek-aspek politik, ekonomi, tata pemerintahan, dan hal-hal yang diperlukan dalam usaha pembentukan negara Indonesia merdeka.

Pada tanggal 7 Agustus 1945, Jepang membubarkan BPUPKI dan kemudian membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau dalam bahasa Jepang: Dokuritsu Junbi Inkai, dengan anggota berjumlah 21 orang, sebagai upaya untuk mencerminkan perwakilan dari berbagai etnis di wilayah Hindia-Belanda[1], terdiri dari: 12 orang asal Jawa, 3 orang asal Sumatera, 2 orang asal Sulawesi, 1 orang asal Kalimantan, 1 orang asal Sunda Kecil (Nusa Tenggara), 1 orang asal Maluku, 1 orang asal etnis Tionghoa.

Tokoh BPUKI

1. Moh Yammin Simbol Keteladanan Polri

Mantan Kapolri dan penganjur pertama pemakaian helm bagi pengendara sepeda motor, ini dikenal bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Dia simbol keteladanan dan kejujuran Polri. Jenderal Polisi (Purn) lulusan pertama Akademi Kepolisian (1952), kelahiran Pekalongan 14 Oktober 1921, ini meninggal dunia di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, Rabu 14 Juli 2004 pukul 00.30 WIB.

Sebelumnya, sejak 13 Mei 2004, dia dirawat intensif di RS Polri Kramat Jati, Jakarta akibat mengalami stroke, penyumbatan saluran pembuluh jantung dan pendarahan bagian lambung. Jenazahnya disemayamkan di rumah duka, Kompleks Pesona Kahyangan, Jl Margonda Raya Blok DH-I Pancoran Mas, Depok.

Kemudian dimakamkan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Giritama, Desa Tonjo, Bojong Gede, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu siang 14 Juli 2004. Menurut Aditya Soetanto, putera keduanya, "Ayah meminta dimakamkan di TPu bukan di Taman Makam Lihat Daftar Pahlawan Nasional
pahlawan." Kapolri Jenderal Da'i Bachtiar dan pimpinan Polri lainnya turut menghadiri acara pemakaman.

Di tengah terjadinya krisis kepercayaan kepada Polri dan birokrasi, ia tampil sebagai seorang yang pantas dipercaya. Sampai-sampai ada guyonan di masyarakat bahwa hanya ada dua Kapolri (1968-1971)
Dia seorang yang jujur dan konsisten dalam melakukan kewajibannya sebagai polisi (kapolri). Namun ironisnya, akibat kejujuran dan keteguhannya melaksanakan tugas, dia malah diberhentikan oleh Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1988)
Presiden Soeharto dari jabatan Kapolri sebelum selesai masa jabatan yang seharusnya tiga tahun.

Dia seorang polisi yang jujur dan bersih dari korupsi. Terbukti, memasuki masa pensiun, ia tidak punya simpanan apa pun. Untunglah para kerabatnya menghadiahinya rumah dan mobil, tanpa diminta. Saat memasuki pensiun itu, ia pun ditawari menjadi duta besar di Belgia, namun ditolak karena merasa tidak cocok, dan lebih suka tinggal di negeri sendiri.

Pria yang menikahi Marie Roselina, dikaruniai tiga anak yakni Reni Soeryanti, Aditya Soetanto dan Sri Pamujining Rahayu, ini setelah pensiun, selain melukis, ia tercatat sebagai anggota ORARI. Ia juga seorang tokoh yang dalam keadaan sulit berada di depan untuk menegakkan demokrasi dan kejujuran. Saat banyak tokoh masih manggut-manggut kepada kekuasaan otoriter, ia maju ke depan menyuarakan demokrasi dan kebenaran. Sampai akhir hayatnya, ia tetap teguh pada prinsip dan menjadi teladan bagi semua anak bangsa, khususnya bagi Kepolisian Republik Indonesia.

2. Ki Hajar Dewantara ; Sebuah Inspirasi
 
Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani. Semboyan ini mungkin sudah tidak asing lagi kita dengar. Sejak duduk di sekolah dasar, sudah sering guru kita mengenalkan dan mengulangnya terlebih saat hari pendidikan Indonesia tiba. Makna yang luhur dari semboyan tersebutlah yang mengawali saya berkeinginan menjadi pendidik.

Ialah Ki Hajar Dewantara, seorang pendidik, penulis, wartawan, patriot bangsa yang nasionalis, dan begitu peduli pada pendidikan bangsa Indonesia. Dalam perjalanannya, Ki Hajar Dewantara pernah mendirikan Perguruan Taman Siswa, yaitu suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.

Ia juga aktif dalam organisasi politik meyuarakan pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Bersama Cipto Mangun Kusumo dan EFE Douwes Dekker dalam ”Tiga Serangkai”, ia mendirikan Indishe Partij. Yaitu sebuah organisasi politik pertama di Indonesia yang bertujuan menuntut Indonesia merdeka. Sedangkan pada zaman Jepang, ia bersama Soekarno, Hatta, dan Mas Mansur (Empat Serangkai) memimpin organisasi Putera. Perjalanan hidupnya tidak selamanya indah. Akibat dari pergerakannya itu, ia menerima hujatan, perlawanan, hingga pengasingan yang dilakukan oleh penjajah Belanda. Namun ia tak putus asa, ia justru lebih mendalami pendidikan di Indonesia setelah diasingkan ke Belanda.

Ajaran keteladanan yang dibawa Ki Hajar Dewantoro Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani, pada intinya adalah seorang guru harus memiliki ketiga sifat tersebut agar dapat menjadi panutan bagi siswanya. Makna Ing Ngarso Sun Tulodo artinya menjadi seorang guru yang berada di depan, harus mampu bersikap dan berperilaku yang baik dalam segala langkah dan tindakannya agar dapat menjadi panutan bagi anak didiknya. Ing Madyo Mbangun Karso bermakna bahwa seorang guru ditengah kesibukannya juga harus mampu membangkitkan atau menggugah semangat para siswanya. Ia mampu memberikan inovasi-inovasi di lingkungan pembelajaran dengan menciptakan suasana belajar yang lebih kodusif.

Tut Wuri Handayani artinya seorang guru harus mampu memberikan dorongan moral dan semangat dari belakang. Dorongan moral ini dibutuhkan para siswa karena hal ini dapat menumbuhkan motivasi dan semangat siswa.

Menjadi guru yang dapat diteladani sesungguhnya tidak berhubungan dengan sosok guru yang senantiasa menjaga wibawa, ingin terlihat ‘sempurna’, kaku, dan ‘penuh aturan’ di hadapan peserta didiknya. Keteladanan di sini adalah mengenai sikap dan perilaku seorang guru. Perilaku guru akan menjadi sarana penyampaian pesan paling efektif bagi peserta didik. Perilaku inilah yang akan menjadi ‘teladan’ bagi kehidupan sosial peserta didik. Bagaimana perilaku guru ketika di depan kelas, ketika berinteraksi dengan siswa, ketika hidup dalam kesehariannya kepada keluarga, tetangga, saudara, dan teman-temannya, ketika ia menyelesaikan masalah, dan ketika dihadapkan dengan berbagai kondisi lainnya.


3. Soepomo, Tokoh Hukum Penjunjung Kolektivisme Adat

Berasal dari keluarga aristokrat Jawa, Soepomo dilahirkan di Sukoharjo, 22 Januari 1903. Kedua kakek Soepomo �dari pihak ayah dan ibu- adalah bupati pada jaman pemerintahan kolonial. Sebagai keluarga terpandang, Soepomo mendapatkan pendidikan untuk orang-orang Eropa sejak tingkat dasar. Ia mengenyam pendidikan di ELS (Europeesche Lagere School) di Boyolali pada tahun 1917, kemudian MULO (Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs) di Solo pada tahun 1920, dan menyelesaikan pendidikan tingginya di Bataviasche Rechtshoogeschool di Batavia pada tahun 1923.
 
Pada tahun 1924 Soepomo melanjutkan pendidikan ke Universitas Leiden di Belanda. Dibimbing salah satu profesor hukum adat Indonesia dari Belanda, Van Vollenhoven, Soepomo beroleh gelar doktor pada tahun 1927 dengan disertasi berjudul De Reorganisatie van het Agrarisch Stelsel in het Gewest Soerakarta. Menggondol gelar doktor pada usia 24 tahun menjadikan Soepomo sebagai pemegang rekor doktor termuda di Indonesia.
 
Sebagai ahli hukum generasi pertama, kontribusi Soepomo sangat besar dalam pembentukkan dasar negara dan konstitusi bangsa ini. Di hadapan sidang resmi pertama Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 29 Mei-1 Juni 1945 misalnya, Soepomo mengusulkan lima asas negara yaitu, persatuan, mufakat dan demokrasi, keadilan sosial, kekeluargaan dan musyawarah.
 
Sikap yang harus ditiru oleh mr.soepomo yaitu pantang menyerah, sikap saling menghormati dan menghargai sesama, sikap cinta tanah air, sikap patriotisme, sikap disiplin dan tegas, sikap saling mencintai sesama, sikap adil terhadap sesame.

Itulah beberapa tokoh BPUPKI yang dapat penulis sampaikan dan tentunya masih ada beberapa tokoh-tokoh BPUPKI yang lain yang merupakan tokoh-tokoh besar Bangsa Indonesia semoga di lain kesempatan Penulis dapat berbagi tentang tokoh-tokoh besar Bangsa Indonesia.

Related Post

Next
Previous
Click here for Comments

0 komentar:

Silahkan berkomentar menggunakan hati nurani dan tidak mengandung SARA, SEX dan POLITIK